Sajian Ramadhan 28: Dimensi Spritual dan Sosial Zakat

Oleh: Aswan Nasution

Agama244 Dilihat
Banner IDwebhost

“Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir; Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir”. [QS. Al-Ma’arij: 19-22].

MENJELANG Akhir Ramadhan kita sering sekali mendengar para da’i atau  penceramah menyampaikan tausiah [nasehat] tentang perlunya kita menunaikan ibadah zakat. Karena betapa besarnya karunia yang akan diperoleh seseorang yang melaksanakan ibadah zakat apalagi kalau diiringi dengan berinfak dan bersedekah terlebih lagi di bulan Ramadhan. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya ibadah zakat dilihat dari aspek syari’ah Islam di satu sisi dan sekaligus manfaatnya bagi para pembayar zakat.

Al-Qur’an memberikan perhatian yang sangat besar terhadap ibadah zakat. Hal ini terbukti dari ditemukannya sebanyak 27 ayat yang menjelaskan tentang zakat bersama–sama dengan ibadah sholat. Hanya ada satu kali disebutkan zakat dalam ayat yang berbeda dengan shalat tetapi masih dalam konteks yang sama yaitu pada surah Al-Mukminun ayat 2 dan 4.

Secara etimologis, zakat mengandung pengertian meningkat, tumbuh [dalam hal kebaikan], suci, dan menyucikan harta benda dan jiwa dari sifat-sifat kikir, tamak, serakah dan menggantikan sifat tersebut dengan sifat penderma, pemurah, qana’ah dan kasih sayang terhadap orang-orang yang tidak berdaya.

Selain itu, menunaikan ibadah zakat tidak akan membuat harta benda berkurang melainkan akan meningkat dan bertumbuh terutama keberkahannya. Harta yang berkah walaupun makin berkurang tidak akan menurunkan tingkat kebahagiaan orang yang memilikinya dan tidak akan menyebabkan pembayar zakat menjadi miskin.

Dalam konteks zakat tersebut di atas, hal ini menyegarkan ingatan kita kembali pada satu kisah yang menarik perhatian bersama untuk menjadi pelajaran beharga bagi kita dimana peristiwa ini terjadi yang secara langsung dihadapkan pada Rasulullah SAW. yakni tentang seorang Tsa’labah yang menolak untuk menyerahkan zakatnya. Adapun secara kronologisnya ialah sebagai berikut:

KETIKA turun perintah zakat. Rasulullah SAW mengirim dua orang sahabat untuk menarik zakat Tsa’labah, tetapi Tsa’labah menolaknya. Kemudian Rasulullah SAW menyambut kedua orang sahabat tersebut seraya berkata, “Celakalah Tsa’labah”. Rasulullah SAW murka, dan Allah SWT pun murka, lalu saat itu turun surah At-Taubah ayat 75-78.

Ayat ini menjelaskan ancaman bagi orang yang sudah berikrar untuk bersedekah apabila dia diberikan rezeki oleh Allah SWT tetapi setelah memperoleh rezeki dia mengingkari janjinya maka dia digolongkan sebagai orang munafik dan orang yang ingkar. Bagi orang munafik dan orang yang ingkar  Allah SWT sediakan baginya siksa yang pedih.

Mendengar ayat tersebut Tsa’labah mulai ketakutan, lalu menemui Rasulullah SAW sambil menyerahkan zakatnya. Nabi menolak dan mengatakan bahwa Allah SWT, melarang aku menerimanya. Tsa’labah menangis tersedu-sedu. Setelah Rasulullah wafat, Khulafa’ur Rosyidin Abu Bakar As- Shiddiq dan Umar Bin Khattab juga menolak zakatnya Tsa’labah. Tsa’labah akhirnya meninggal pada masa khalifah Utsman Bin Affan.

Jangan-jangan Tsa’labah-Tsa’labah baru atau terkini dengan berlinang air mata memohon agar rezeki Allah SWT turun kepadanya dan ketika rezeki itu turun, dengan sombongnya ia melupakan ayat-ayat Allah SWT. Dia menganggap keberhasilan usahanya atau harta yang ia peroleh adalah hasil kerja kerasnya, membanting tulang, bukan turun begitu saja dari langit sehingga untuk apa ia perlu berzakat atau bersedekah. Kemudian dia menyuruh dan mendorong orang-orang yang meminta-minta bekerja keras membanting tulang. Ternyata banyak Tsa’labah–Tsa’labah berada disekitar kita, mungkin juga kita termasuk ke dalam kelompok para penganut mazhab Tsa’labah.

Kalau dulu Tsa’labah menangis di hadapan Rasulullah SAW yang tak mau menerima zakatnya, sekarang di tengah-tengah kesenjengan sosial di negeri kita, jangan-jangan kita bukan hanya akan menangis namun berlumuran darah ketika orang miskin menolak sedekah dan zakat kita.

Sesungguhnya, dengan berzakat kita sedang dididik dan diajarkan agar terbiasa memberi dan tidak mencintai harta secara berlebihan sehingga kita terhindar dari sifat kikir, tamak, dan serakah. Kecintaan manusia terhadap harta benda akan terus makin subur kalau dibiarkan karena ada kesenangan pada saat menghitung-hitungnya. Kesenangan menghitung harta benda tersebut akan berkurang manakala kita menyadari bahwa dalam harta benda kita tersimpan milik orang lain yaitu fakir, miskin, dan para mustahik yang  wajib kita berikan melalui perintah zakat. Dengan demikian, akan tumbuh di hati kita sifat penderma, pemurah, qana’ah, dan kasih sayang terhadap orang-orang yang tidak berdaya.

Oleh karena itu, kita berkewajiban untuk memberikan bagian dari harta benda yang ada di tangan kita kepada pemiliknya. Kesadaran tersebut membuat kita berusaha menemukan pemilik dari harta benda tersebut. Itulah sebabnya agama menganjurkan agar kita berupaya menyerahkan harta benda tersebut dengan mendatangi rumah—rumah orang fakir dan miskin yang merupakan pemilik sah dari sebagian harta benda yang ada di tangan kita.

Mudah-mudahan Allah SWT memberikan kita taufik dan hidayah- Nya dan memasukkan kita ke dalam golongan orang-orang saleh dan gemar berinfak serta bersedekah sehingga kita tidak termasuk dalam golongan pengikut Tsa’labah yang tertolak amalnya. Amin ya rabbal ‘alamin. Wallahu a’lam bishshowab.

Selamat Menjalankan Ibadah Puasa. “Hidangan Langit Telah Tersedia. Lupakan Sejenak Santapan Duniawi.”

banner 336x280
Baca Juga:  Hanya di Lombok Pria Nikahi Gadis Dengan Mahar 1000 Rupiah