Kesombongan itu Menolak Kebenaran dan Meremehkan Orang Lain

Oleh: ASWAN NASUTION

Religi270 Views

“Dan berkata Fir’aun [kepada pembesar-pembesarnya]: “Biarkan aku membunuh Musa dan hendaklah ia memohon kepada Tuhannya, karena sesunguhnya aku khawatir dia akan menukar agamamu atau menimbulkan kerusakan di muka bumi,” Dan Musa berkata: “Sesungguhnya aku berlindung kepada Tuhanku dan Tuhanmu dari setiap orang yang menyombongkan diri yang tidak beriman kepada hari berhisab,” [QS. Al Mu’min (40): 26-27].

PADA ayat di atas tampak sekali Fir’aun memperlihatkan kesombongannya. Secara terbuka Fir’aun memproklamasikan dirinya di hadapan khalayak ramai, meneror Nabi Musa dengan ancaman pembunuhan.

Fir’aun bahkan kembali menantang Allah Ta’ala dengan menyuruh Nabi Musa berdo’a memohon pertolongan kepada Rabbnya. “Biarkanlah aku membunuh Musa dan hendaklah ia memohon kepada Tuhannya,” demikian bunyi teror sekaligus surat tantangan Fir’aun kepada Nabi Musa.

Bukan cuma sekedar teror dan penolakan. Namun, dengan licik Fir’aun juga memutarbalikkan fakta: “Aku khawatir Musa akan menukar agamamu dan menimbulkan kerusakan di muka bumi.”

Tampil sebagai pahlawan kesiangan Fir’aun terang-terangan menuduh Musa di hadapan kaumnya sebagai the most enemy [musuh utama] yang harus di hadapi bersama. Ia bahkan menganggap Musa sebagai sumber kerusakan sekiranya mereka menuruti apa yang didakwahkan oleh Musa.

Uniknya, meski seluruh masyarakat tahu sepak terjang serta perilaku buruk atau rekam jejak Fir’aun dalam memerintah, tetap saja Fir’aun pede memberi nasihat seolah-olah selama ini ia berakhlak bagus dan menebar kebaikan kepada rakyatnya.

BAHAYA KESOMBONGAN

Kira-kira apa yang menghalangi Fir’aun dalam menerima kebenaran yang diserukan Nabi Musa?. Nurani. Iya, nurani Fir’aun telah tertutupi oleh noda hitam kecongkakan dirinya sendiri. Sikapnya yang sombong menjadikan Fir’aun rela diperbudak oleh hawa nafsunya.

Membuat mata hatinya terhalang dari kebenaran. Nistanya lagi, Fir’aun tak sekadar menolak kebenaran untuk dirinya. Tapi juga menghalangi kebenaran itu sampai kepada kaumnya.

Jika jiwa sudah tercemari noda keangkuhan, banyak alasan bisa hadir sebagai pembenaran atas keinginan nafsu tersebut. Sebab kesombongan acap kali seiring dengan hawa nafsu yang dominan dalam jiwa.

Yang demikian itu kerap menjadikan potensi diri justru akan kontra-produktif. Alih-alih bermanfaat, tetapi kian menjauhkan dirinya dari agama dan nurani kebenaran.

Yahya bin Mu ‘adz, seorang ulama salaf member warning yang menggetarkan jiwa. Yahya berkata, “Takutlah kalian dari sifat angkuh. Sebab kesombongan sanggup menghancurkan amalan kebaikan sebelumnya. Layaknya kobaran api yang melahap potongan kayu bakar yang kering.”

Yahya melanjutkan, “Seseorang tertidur pulas di malam hari [tidak bangun untuk shalat malam] lalu ia menyesal di pagi harinya, hal itu lebih baik dari orang yang bangun [beribadah di malam hari] namun sombong keesokan harinya.”

TOLOK UKUR KESOMBONGAN

Do’a Nabi Musa dalam ayat di awal memberi patokan sederhana, seperti apa batasan manusia dianggap berlaku sombong. Yaitu setiap orang yang tidak mengimani Hari Kiamat dengan sendirinya masuk dalam kategori orang sombong.

Hal ini tersurat dalam munajat panjang Nabi Musa usai berhadapan dengan Fir’aun, “Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung dengan Tuhanku dan Tuhan kalian dari [kejahatan] setiap orang yang sombong yang tidak beriman kepada Hari Perhitungan.”

Dalam riwayat yang lain, Nabi Shalalallahu ‘Alaihi Wassalam mengajarkan dalam sabdanya, “Kesombongan itu tak lain ketika ia menolak kebenaran dan meremehkan orang lain.” [Riwayat Muslim]. Wallahu a’lam bish shawab.

Referensi:
Majalah Mulia, 2018.

banner 336x280
Baca Juga:  Keutamaan Selalu Bersyukur dan Bersabar