Kuburkan Takabur, Suburkan Tasyakkur

Religi397 Dilihat
Banner IDwebhost

“Dan hendaklah kamu sempurnakan bilangan nya dan hendaklah kamu besarkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur”. [QS. Al- Baqarah: 185].

SETIAP perpindahan gerak dalam shalat kita tandai dengan takbir. Takbir artinya mengakui bahwa hanya Allah saja yang besar, hanya Allah saja Yang Maha Tinggi, yang harus kita agungkan dan kita tinggikan di atas apa pun dan siapapun.

Merintis jalan kesucian hanya dapat kita lakukan dengan takbir. Setan mulai menyesatkan kita dengan menawarkan ilah lain untuk kita besarkan. Secara halus dan perlahan-lahan, setan menampilkan berbagai ilah, dan membesarkannya dalam pandangan kita.

Sebagai pengganti Allah, ada diantara manusia yang membesarkan kekayaan, kekuasaan, atau diri sendiri. Kita mulai membesarkan kekayaan ketika kita bersedia melakukan apa saja untuk memperolehnya, tanpa memperdulikan halal dan haram, tanpa memperhatikan ancaman Allah, bahkan tampa mendengarkan hati nurani kita sendiri.

Ketika petunjuk Allah berbicara lewat hati nurani kita, “Jangan ambil kekayaan itu, karena akan menyengsarakan orang lain, kita memeras orang-orang yang lemah, kita mengambil hak mereka yang seharusnya kita kasihani, “kita persetankan semuanya karena di depan kita sekarang berdiri dengan megah kekayaan dengan segala kebesaran dan keagungannya.

Kita terpukau karena pesona gemerlapnya dunia sehingga, untuk mengejar beberapa ratus ribu rupiah, kita tidak sempat lagi shalat dan mengangkat tangan mengucapkan Allahu Akbar, kita tidak punya waktu lagi untuk membaca ayat-ayat suci Al-Qur’an dan kita tidak mempunyai peluang untuk meningkatkan iman dengan mengunjungi masjid di samping rumah kita.

Bila dunia sudah dibesarkan, maka bukan saja Allah-yang tampak-menjadi kecil, melainkan yang tampak jelas pun menjadi tidak kelihatan. Kita menjadi acuh tak acuh kepada penderitaan orang lain, kita mampu berfoya-foya dikala saudara-saudara kita masih dililit kemiskinan dan kesengsaraan.

Tidak pernah terlintas dalam pikiran kita bahwa pada saat kita menikmati makanan yang enak, di tempat lain ada tubuh kurus yang direngut nyawa perlahan-lahan karena tak sanggup membayar biaya rumah sakit, ada anak-anak yang cerdas memandang kawan-kawannya dari luar pagar sekolah karena tidak dapat membayar iuran sekolah, ada bayi-bayi merah yang kehilangan dekapan dan air susu karena ibunya tidak bisa meninggalkan rumah majikannya.

Bila orang sudah mengagungkan kekuasaan, Allah pun menjadi kecil. Kedudukan tidak lagi dipandang sebagai amanat Allah yang akan diminta pertanggungjawabannya di hari kiamat, tetapi diterima sebagai alat untuk berbuat sewenang-wenang. Kekuasaan yang seharusnya dipergunakan untuk melindungi yang lemah, mengayomi yang tidak berdaya, dan membela yang teraniaya, malah dipergunakan untuk melindungi yang kuat, mengayomi yang zalim, dan membela yang menganiaya.

Bila kita membesarkan kekuasaan yang kita miliki, bukan saja ancaman Allah menjadi kecil, kita juga menganggap kita besar: Kita menjadi orang yang tidak pernah salah dan tidak boleh disalahkan; kita tidak lagi mau melihat bahwa diri kita adalah makhluk yang dha’if (lemah) dan mudah berbuat alpa; kita meremehkan saran dan nasihat yang tulus; dan pada saat yang sama, kita senang mendengarkan orang-orang yang memuja dan membesarkan kita. Seperti Fir’aun, ia berkata; “Akulah Tuhanmu Yang Mahatinggi, ” [QS.79: 24].

Ilah yang paling banyak dibesarkan orang adalah justru dirinya sendiri. Kita membesarkan kekayaan, tetapi ketika kekayaan telah kita miliki, kita membesarkan diri kita sendiri. Mula-mula kita mengagungkan kekuasaan, tetapi ketika kita berkuasa, kita merasa bahwa kita adalah diri yang paling besar. Merasa diri besar padahal diri kita kecil dalam istilah Islam, disebut TAKABBUR. Menurut Imam Al-Ghazali, takabbur yang paling buruk ialah takabbur ‘alallah, takabbur kepada Allah Swt.

Kita takabbur kepada Allah bila–demi kekayaan dan kekuasaan–kita bersedia melanggar segala hukum dan peraturan dibuat-Nya. Kita takabbur kepada Allah bila kita menganggap paham dan peraturan yang kita buat lebih baik dan lebih layak diamalkan dari pada firman dan syari’at Allah.

Kita takabbur kepada Allah bila kita bersedia tunduk kepada yang kaya dan berkuasa, tetapi tidak bersedia ruku’ dan sujud kepada Allah Rabbul ‘alamin. Kita juga takabbur kepada Allah bila kita merendahkan makhluk-Nya, pada Allah telah mengangkatnya menjadi khalifah di bumi.

Takabbur hanya dapat disembuhkan dengan menggemakan kembali takbir tersebut, baik rumah, di kantor, di tempat kita bekerja, dan terutama dalam hati kita sendiri.

Bila hanya Allah saja yang besar, bila takbir sudah menghunjam di dalam sanubari kita, maka kekayaan yang kita miliki, kekuasaan yang kita punyai, dan keistimewaan yang ada pada kita, berubah dari ilah yang kita puja menjadi nikmat yang kita syukuri. Dengan takbir, perasaan tinggi diri berubah menjadi rendah hati.

Allah Swt. telah mengaruniai Rasulullah Saw, dengan berbagai kemenangan, dengan kecintaan umatnya, dan dengan ketinggian dan kebesaran namanya. Segala keistimewaan itu digunakannya untuk membesarkan Allah Yang Mahakuasa. Sampai suatu saat, istrinya melihat dia bangun malam, berdiri di depan Allah, sehingga bengkak-bengkak kedua telapak kakinya. Ketika “Aisyah bertanya, “Mengapa engkau lakukan ini padahal telah diampuni Allah dosamu yang lalu dan yang kemudian?” Rasul yang mulia menjawab, “Bukankah aku belum menjadi hamba yang bersyukur?” [HR. Bukhari dan Muslim].

Padahal Rasulullah Saw memiliki kelebihan dan keistimewaan yang luar biasa namun hal itu tidaklah menyebabkan beliau takabbur, tetapi malah menyuburkan rasa tasyakkur.

Itulah pelajaran yang diberikan Rasulullah Saw, kepada umatnya, agar kita senantiasa dapat menguburkan sifat takabbur dan menyuburkan tasyakkur. Marilah kita akhiri dengan menghamparkan kehinaan di hadapan Allah Yang Mahabesar dan memohon karunia-Nya. Wallahu ‘alam bish shawab.

Referensi; Khotbah di Amerika, 2002.

banner 336x280
Baca Juga:  Menyikapi Fitnah Perpecahan di Akhir Zaman