Serangan Politik dan Perang Kata di Media Sosial

Oleh: Bq Ines Do'ariz

Opini415 Dilihat
Banner IDwebhost

Penulis: Bq Ines Do’ariz, Mahasiswa Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam S1, Universitas Islam Negeri Mataram.

BERBAGI News – Dalam era digital, media sosial sudah menjadi arena utama bagi masyarakat. Komunikasi politik, kampanye, dan bahkan sampai saling menyerang melalui sosial media.

Serangan politik di media sosial merujuk pada tindakan yang dirancang pasangan calon A untuk melemahkan pasangan calon B baik reputasi, kepercayaan dari masyarakat, atau popularitas seorang politisi partai politik atau ideologi tertentu.

Serangan seperti ini sering dilakukan menggunakan taktik seperti disinformasi, fitnah, troll dan bahkan propoganda.

Perang kata dalam politik merujuk pada situasi para pasangan calon atau aktor politisi baik itu dari partai politik maupun para pendukung mereka menggunakan retorika, pernyataan, atau komentar public.

Untuk saling menyerang, membela atau mempengaruhi opini public, perang kata baik melalu media sosial, media internet televisi dan lainnya.

Menurut M. Qodari seorang pengamat politik dan pendiri lembaga survei Indikator Politik Indonesia, sering memberikan pandangan kritis tentang dinamika politik di Indonesia.

Mengenai perang kata dalam politik Indonesia, ia sering menyoroti bagaimana retorika politik, serangan verbal, dan penggunaan isu-isu sensitif bisa menjadi strategi dalam persaingan politik.

Qodari menekankan bahwa dalam politik Indonesia, perang kata sering kali lebih tentang membentuk narasi publik, mengalihkan perhatian dari isu-isu substantif, dan memainkan emosi pemilih daripada diskusi tentang kebijakan konkret. Retorika yang tajam, fitnah, dan serangan pribadi dapat digunakan untuk menggiring opini publik, memobilisasi massa, atau mengalahkan lawan politik.

Serangan politik dan perang kata di media sosial seperti platform instagram, facebook, tiktok dan yang lainnya  adalah fenomena yang semakin marak terjadi, terutama di era digital saat ini.

Media sosial menjadi medan perang baru bagi aktor politik untuk mempengaruhi opini publik, memperkuat posisi, atau menyerang lawan politik.

Istilah Serangan politik dan perang kata ini merujuk pada penggunaan media sosial untuk menyampaikan narasi, menyerang lawan politik,dan mempengaruhi opini publik. Sehingga serangan politik dan perang kata seperti ini berdampak kepada masyarakat karena bisa memecah belahkan masyarakat yang mendukung pasangan

calon yang berbeda, ketegangan emosional berisi serangan personal atau provokasi.

Kehilangan kepercayaan etika serangan politik merusak citra pemimpin, partai, atau institusi, masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap sistem yang dapat memicu ketidakstabilan sosial.

Masyarakat sering menjadi korban utama dari serangan ini karena mereka terjebak dalam narasi yang dirancang untuk kepentingan pihak-pihak tertentu, bukan untuk kebaikan bersama.

Serangan politik dan kebiasaan melakukan perang kata merusak budaya diskusi yang tidak sehat, membuat masyarakat lebih sulit untuk memilih siapa yang akan memimpin di masa yang akan datang.

Propoganda politik sering membuat berita palsu atau hoax untuk mempengaruhi masyarakat opini publik yang dapat mengarah pada pengambilan keputusan yang keliru.

Biasanya para politisi melalui platform instagram, facebook, tiktok dan lainnya  menggunakan buzzer yang merupakan individu atau kelompok yang bertugas menyebarkan pesan tertentu, baik untuk mendukung atau menjatuhkan pihak tertentu, melalui media sosial atau platform digital lainnya.

Buzzer sering kali digunakan oleh politisi, partai politik, atau kelompok kepentingan untuk mempengaruhi opini publik, membangun citra, atau menggiring isu tertentu.

Semoga dengan berakhirnya pemilu pada bulan Februari lalu dan pilkada pada bulan November yang lalu dan sudah menentukan siapa pemimpin pilihan terbaik rakyat kedepannya bisa menciptakan praktik politik yang sehat, di mana semua pihak lebih mengedepankan etika, dialog yang konstruktif, dan solusi bagi masyarakat. Tidak ada lagi serangan politik yang berlebihan, perang kata di media sosial, atau narasi negatif yang hanya memperkeruh suasana.

Sebaliknya, setiap pihak diharapkan berfokus pada adu gagasan, visi, dan program yang konkret demi kepentingan bersama. Media sosial juga bisa dimanfaatkan sebagai ruang edukasi politik yang positif, bukan sebagai tempat menyebarkan hoax atau ujaran kebencian. Dengan begitu, politik menjadi instrumen yang membangun dan mempererat persatuan bangsa. ***

banner 336x280
Baca Juga:  Opini - Masa Depan Politik Digital:  Partisipasi atau Polarisasi?