Atas Nama Humor: Refleksi Sosial Atas Kosa Kata Gus Miftah

Oleh: Abdul Ali Mutammima Amar Alhaq

Opini268 Dilihat
Banner IDwebhost

Oleh: Abdul Ali Mutammima Amar Alhaq, S.Sos, Mahasiswa Magister Hukum Keluarga Islam UIN Mataram

BERBAGI News – Beberapa hari belakangan ini viral di media sosial ucapan Gus Miftah, seorang pendakwah kondang yang juga merupakan Utusan Khusus Presiden bidang Kerukunan Beragama dan Pembinaan Sarana Keagamaan.

Dalam Dakwahnya di wilayah Magelang Jawa Tengah tersebut, beliau menyebut seorang pedagang es teh dengan kata/kata “goblok”. Ucapan yang dianggap oleh Gus Miftah sebagai candaan ini kemudian menjadi viral dan mengundang reaksi public yang begitu deras.

Bagi sebagian kalangan mungkin ini hanya candaan belaka. Tetapi dari perspektif sosial, penulis melihat bahwa ucapan tersebut menimbulkan banyak pertanyaan mengenai bagaimana humor harusnya dipahami dan batasan-batasan yang harus dijaga dalam interaksi sosial, khususnya bagi pendakwah yang sejatinya menjadi contoh yang baik.

Gus Miftah sebagai seseorang yang paham agama memiliki tempat tersendiri di masyarakat. Setiap ucapan dan tindakannya dipandang sebagai cerminan nilai-nilai agama yang beliau ajarkan.

Dalam konteks ini, penulis berpandangan bahwa humor yang disampaikan oleh pendakwah tidak tanya bertujuan untuk menghibur tetapi juga untuk menyampaikan pesan moral. Namun, walau niat awalnya mungkin hanya untuk mencairkan suasana atau sekadar bercanda, humor yang sensitif terhadap audiens sangat berisiko menyinggung perasaan orang lain, lebih-lebih menyangkut profesi atau status sosial seseorang.

Perkataan Gus Miftah yang menyebut pedagang es teh dengan kata-kata “goblok” menggambarkan bagaimana humor dapat salah dimaknai, terutama ketika berbicara tentang orang yang dianggap berada di kelas sosial yang lebih rendah.

Di Indonesia, profesi seperti pedagang es teh acapkali diasosiasikan sebagai pekerjaan yang rendah serta kurang dihargai. Namun, perlu disadari bahwa apapun jenis pekerjaannya, memiliki nilai dan martabat.

Seseorang yang berdagang dengan semangat juang yang tinggi untuk keluarganya seharusnya dihargai, bukan dihina apalagi direndahkan di muka umum. Dalam hal, penulis berpandangan bahwa humor yang disampaikan oleh Gus Miftah justru mengabaikan nilai-nilai kesopanan dan respek terhadap orang lain.

Dalam masyarakat Indonesia, ada norma yang mengajarkan untuk saling menghormati sesama. Apa pun itu jenis pekerjaannya atau status sosialnya. Bahkan dalam agama Islam, bekerja keras untuk menafkahi keluarga merupakan perbuatan yang sangat mulia. Menghina dan merendahkan orang lain bukan hanya tidak etis, tetapi telah melanggar prinsip dasar moralitas.

Dalam sosiologis, hal ini mencerminkan adanya penurunan nilai penghargaan terhadap pekerjaan orang lain yang dianggap kurang bergengsi, yang sering kali berdampak pada bagaimana masyarakat memandang kelas pekerja.

Ucapan Gus Miftah itu juga menunjukkan adanya “ketimpangan dalam persepsi sosial” tentang pekerjaan. Dalam kehidupan sosial, sering kali seseorang dinilai berdasarkan pekerjaan bukan pada usaha dan nilai yang terkandung di baliknya. Inilah kemudian menciptakan kesenjangan sosial yang memperlebar jurang antar kelas atas dan kelas bawah.

Sebagai orang yang paham agama, Gus Miftah seharusnya lebih peka terhadap ketimpangan sosial dan berhati-hati memilih kata, sehingga tidak memperburuk pandangan terhadap kelas pekerja tertentu. Lebih-lebih saat ini juga Gus Miftah telah menjadi pejabat public.

Di era media sosial seperti sekarang, ucapan atau juga tindakan yang dianggap kurang baik dapat dengan cepat menyebar dan mempengaruhi beragam respons orang lain. Reaksi masyarakat yang melihat dan mendengar ucapan tersebut mencerminkan adanya “peningkatan kesadaran sosial” tentang pentingnya menghormati sesama, khususnya dalam konteks profesi dan pekerjaan.

Di era keterbukaan ini,  penulis berharap bahwa para pejabat public atau orang-orang yang memiliki pengaruh hendaknya berbicara dengan lebih bijaksana dan menjaga tutur kata dengan baik, sehingga tidak sampai menyakiti hati orang lain.

Refleksi Terhadap Dakwah dan Humor Masa Kini

Perkaaan Gus Miftah membuka mata hati kita untuk merenungkan kembali bagaimana “dakwah” seharusnya disampaikan lebih bijaksana dan hati-hati tanpa harus mengunakan candaan yang berujung pada menyinggung orang lain.

Seorang pendakwah, memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga kesopanan, kesensitifan sosial dan yang tak  kalah penting adalah penghormatan terhadap semua lapisan masyarakat. Humor, meskipun kemudian bisa menjadi alat untuk menyampaikan ajaran-ajaran agama, harus digunakan dengan bijaksana.

Gus Miftah sebagai pendakwah, sudah seharusnya lebih berhati dalam memilih diksi-diksi yang digunakan dalam dakwahnya sehingga dapat menenangkan jiwa hati dan pikiran, bukan justru menimbulkan kegaduhan.

Kesalahan Gus Miftah menggunakan humor menjadi pembelajaran penting untuk kita semua, khususnya para tokoh agama dan masyarakat. Kita harus sama-sama menyadari bahwa tidak semua orang memiliki sudut pandang yang sama, oleh sebab itu, setiap perkataan yang kita ucapkan haruslah mempertimbangkan perasaan dan martabat orang lain.

Ucapan Gus Miftah yang menyebut pedagang es dengan kata-kata “goblok” menggambarkan bagaimana humor yang tidak pada tempatnya dapat menimbulkan reaksi keras dari public.

Dalam masyarakat yang semakin peka terhadap ketimpangan sosial, setiap kata dan tindakan harus mencerminkan nilai-nilai kesopanan, saling menghargai dan memberikan penghormatan terhadap sesama.

Semoga kejadian ini menjadi pembelajaran berharga bagi kita semua, apapun latar belakang kita, apapun profesi kita dan apapun status sosial kita, bahwa dalam menyampaikan sesuatu harus dengan lebih bijaksana dan penuh empati.  (amr).

banner 336x280
Baca Juga:  Opini - Masa Depan Politik Digital:  Partisipasi atau Polarisasi?