Penulis: Khidir Iliyansyah, Mahasiswa S1, Prodi Komunikasi Penyiaran Islam, UIN Mataram
BERBAGI News – Pemilu merupakan momen penting dalam sistem demokrasi, dimana masyarakat diberikan kesempatan untuk memilih pemimpin dan menentukan arah kebijakan. Namun, seringkali janji-janji yang diucapkan oleh para kandidat selama kampanye tidak sejalan dengan realitas setelah terpilih.
Selama masa kampanye, calon pemimpin sering kali membuat berbagai janji untuk menarik perhatian pemilih. Janji-janji ini bisa mencakup peningkatan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan sosial. Namun, setelah terpilih, banyak dari janji tersebut yang tidak dapat dilaksanakan karena berbagai alasan, seperti
Banyak program ambisius terhambat oleh anggaran yang tidak mencukupi. Ketika masuk ke pemerintahan, pemimpin seringkali menemukan bahwa realita ekonomi tidak mendukung pelaksanaan semua janji yang telah dibuat.
Sebagai contoh, dalam banyak kasus, pemimpin terpaksa mengubah prioritas anggaran mereka untuk menanggapi kebutuhan mendesak yang muncul setelah terpilih. Banyak pemimpin daerah di Indonesia menghadapi kesulitan dalam merealisasikan janji kampanye mereka karena keterbatasan dana dan sumber daya.
Proses implementasi yang panjang dan rumit sering kali menghalangi realisasi janji. Selain itu, seringkali ada perbedaan antara niat dan tindakan, di mana birokrasi dapat menjadi penghalang signifikan dalam meraih tujuan yang telah ditetapkan.
Hal ini menunjukkan bahwa meskipun ada niat baik, sistem yang ada sering kali tidak mendukung pelaksanaan yang efektif. Sebuah studi menemukan bahwa birokrasi yang tidak efisien sering kali menjadi penghambat utama dalam pelaksanaan program-program pemerintah.
Krisis ekonomi, bencana alam, atau faktor lain yang tidak terduga bisa mempengaruhi kemampuan pemerintah untuk memenuhi janji. Misalnya, pandemi COVID-19 telah mengubah prioritas anggaran di banyak negara, mengakibatkan penundaan dalam pelaksanaan program-program yang sebelumnya dijanjikan. Penelitian menunjukkan bahwa banyak pemerintah daerah yang terpaksa menunda proyek-proyek penting akibat dampak ekonomi dari pandemi
Banyak calon pemimpin menggunakan istilah yang ambigu atau tidak jelas dalam janji mereka. Hal ini bisa menyebabkan kesalahpahaman di kalangan pemilih mengenai apa yang sebenarnya akan dilakukan. Ketidak jelasan ini dapat menciptakan ekspektasi yang tidak realistis, sehingga ketika janji tersebut tidak terpenuhi, masyarakat merasa dikhianati.
Penggunaan bahasa yang manipulatif. Dalam banyak kasus, bahasa yang digunakan dalam kampanye sering kali bersifat manipulatif, dengan frasa yang tampak positif tetapi tidak memiliki substansi. Misalnya, janji untuk “meningkatkan kualitas pendidikan” tanpa penjelasan konkret tentang bagaimana hal tersebut akan dilakukan. Hal ini menciptakan kesenjangan antara harapan masyarakat dan realitas yang dihadapi setelah pemilihan. Penelitian menunjukkan bahwa penggunaan bahasa yang ambigu dalam kampanye politik dapat menyebabkan ketidakpuasan di kalangan pemilih.
Ketidakpuasan masyarakat sering kali muncul ketika janji-janji kampanye tidak terpenuhi. Rasa kekecewaan ini dapat berujung pada penurunan kepercayaan terhadap institusi dan pemimpin. Hal ini menciptakan siklus negatif di mana pemilih merasa tidak berdaya dan skeptis terhadap proses demokrasi.
Ketidakpuasan ini dapat menyebabkan apatisme politik. Generasi muda, yang seharusnya menjadi harapan bagi masa depan demokrasi, bisa jadi kehilangan minat untuk terlibat dalam proses politik jika mereka merasa suara mereka tidak didengar. Penurunan partisipasi pemilih dalam pemilu berikutnya sering kali menjadi indikasi dari ketidakpuasan ini. Sebuah studi menunjukkan bahwa ketidakpuasan terhadap pemimpin dapat mengurangi partisipasi pemilih, terutama di kalangan pemilih muda.
Janji-janji pemilu sering kali menjadi alat untuk menarik dukungan, tetapi realitasnya bisa jauh berbeda setelah terpilih.
Oleh karena itu, penting bagi pemilih untuk lebih kritis dan aktif dalam menuntut akuntabilitas dari pemimpin mereka.
Dengan cara ini, diharapkan proses demokrasi dapat berjalan lebih baik dan janji-janji yang dibuat tidak hanya menjadi sekadar kata-kata.
Dalam akhirnya, membangun kepercayaan antara pemimpin dan masyarakat adalah kunci untuk meningkatkan kualitas demokrasi.
Hanya dengan transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi aktif dari semua pihak, janji-janji pemilu dapat direalisasikan menjadi kenyataan yang bermanfaat bagi seluruh lapisan masyarakat.