“Maha suci Allah, yang telah memperjalanankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda [kebesaran] Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. [QS. Al Isra: 1].
PERISTIWA Isra’ dan Mi’raj yang terjadi pada tanggal 27 Rajab merupakan kisah perjalanan Baginda Rasulullah SAW dari Masjidil Haram di Mekkah menuju Masjidil Aqsha di Batul Maqdis [Palestina] menuju Baytul Makmur di Sidratul Muntaha.
Mencermati diantara hikmah besar yang dapat kita petik dari peristiwa Isra’ dan Mi’raj tersebut paling tidak ada tiga hal, yaitu diantaranya adalah sebagai berikut:
Pertama, Misteri dari perjalanan tersebut akan menantang manusia untuk mengungkapkannya dan menarik hikmah dari peristiwa yang menggetarkan hati sekaligus membuat sekeptis orang-orang kafir sejak masa awal kelahiran risalah Rasulullah hingga hari ini. Dan skeptisme tersebut akan terus menyelimuti pikiran orang-orang yang mengingkari risalah Rasulullah hingga mereka mendapatkan penjelasan yang rasional atau mendapatkan hidayah.
Kedua, Allah hendak membuktikan kebesaran-Nya kepada Rasulullah agar beliau tetap kokoh melaksanakan tugas kenabiannya. Bukti kekuasaan dan kebesaran Allah ditunjukkan dengan dilihatnya oleh Jibril dalam penampilan yang original [asli] di Sidratul Muntaha, dan diperlihatkannya surga dan neraka, para nabi dan rasul, kerajaan agung-Nya, serta kebesaran kasih sayang-Nya.
Ketiga, Isra’ dan Mi’raj dihajatkan untuk menerima perintah shalat lima waktu yang merupakan media sekaligus metode untuk mendekatkan diri kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Shalat adalah perintah Allah yang diterima langsung oleh Rasulullah dan tanpa perantara. Maka shalat menjadi medium untuk kita berdialog dengan Allah. Dalam pengertian generiknya shalat berarti ikatan sebagaimana silaturrahim yaitu saling bertemu untuk mengikat tali kasih sayang.
Dengan pengertian ini hendaknya shalat menyadarkan kita bahwa sesungguhnya ada dorongan hati terdalam yang selalu ingin mengikatkan diri dengan Allah. Pengikatan diri dengan Allah harusnya menjadi kesadaran manusia karena Allah memiliki kekuasaan dan kebesaran yang di tangan-Nya nasib seluruh alam semesta dan seisinya. Kesadaran ini akan membawa manusia kepada penyerahan diri kepada Allah secara total.
Menurut perspektif ahli sufi, menganggap bahwa peristiwa Isra’ dan Mi’raj sebagai perjalanan immateri [ruh] Rasulullah SAW menjadikan peristiwa ini sebagai inspirasi sekaligus keyakinan bahwa manusia dapat melihat wajah Allah Azza wa Jalla. Setiap jiwa bisa melakukan mi’raj atau perjalanan naik untuk bertemu dengan Allah secara spiritual melalui proses dan laku spritual seperti yang dipraktekkan oleh para sufi dan penganjur tasawuf. Mereka meyakini bahwa perjumpaan dengan Allah dapat dilakukan di dunia tanpa menunggu kematian dan hari berbangkit [yaumul ba’ast].
Perbedaaan asumsi dan perspektif di atas tidak akan pernah berhasil mengungkap peristiwa tersebut dengan memuaskan. Peristiwa itu akan terus menjadi misteri hingga suatu saat nanti ilmu pengetahuan dapat menguaknya secara ilmiah dan rasional.
Dengan demikian, pada hakikatnya setiap orang membutuhkan shalat, karena shalat adalah kebutuhan jiwa. Kehidupan yang keras membuat manusia takut dan cemas akan kelansungan hidupnya. Ketakutan tersebut tidak hanya terkait dengan kecukupan materi, tetapi juga terhadap pemenuhan rasa aman, cinta dan kasih sayang.
Kehidupan yang berat dan sulit seringkali menyadarkan kita untuk mencari perlindungan dan pertolongan. Pada saat tidak ada orang lain yang bisa dimintai pertolongan maka harapan dan keluhan akhirnya dialamatkan kepada Dia Yang Maha Kuasa.
Hasil ritual shalat yang kita lakukan akan tercemin pada perilaku keseharian kita. Semakin bagus kualitas shalat kita semakin baik akhlak atau perilaku kita. Jika perilaku kita tidak semakin baik padahal kita sudah mendirikan shalat dengan tekun maka periksalah ibadah shalat kita. Wallahu a’lam.