Penulis: Izza Fitryani, Mahasiswa Semester 3 Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam, UIN Mataram
BERBAGI News – Pemilihan kepala daerah (Pilkada) sering disebut sebagai pesta demokrasi. Tapi, bagi sebagian orang, pesta ini justru terasa hambar. Bukan karena kurangnya antusiasme, tetapi karena pilihan yang tersedia sering kali tak sesuai ekspektasi. Ketika kedua atau semua pasangan calon (Paslon) dianggap tidak memadai, banyak yang memilih opsi paling mudah: golput atau Golongan Putih.
Namun, pertanyaannya adalah, apakah golput benar-benar solusi?
Sebagai mahasiswa yang melek politik, kita sering berdiskusi tentang pentingnya suara dalam demokrasi. Hak pilih dianggap sebagai senjata utama untuk membawa perubahan. Tapi bagaimana jika pilihan yang ada hanya sebatas memilih antara “yang kurang baik” atau “yang lebih baik”? Rasa frustrasi inilah yang mendorong sebagian besar golputers, mereka merasa tidak ada satu pun Paslon yang mampu mewakili harapan.
Golput sering dianggap sebagai bentuk protes terhadap sistem. Dengan tidak memilih, mereka ingin menunjukkan bahwa kualitas calon yang dihadirkan tidak memenuhi standar masyarakat. Namun, kita perlu sadar bahwa golput tidak selalu memiliki dampak yang diharapkan. Golput tidak otomatis membatalkan hasil Pilkada. Sebaliknya, mereka yang tetap memilih, meski hanya sedikit, akan menentukan pemimpin kita selama lima tahun kedepan.
Bayangkan, jika mayoritas pemilih kritis memilih golput, suara akan dikuasai oleh mereka yang memilih berdasarkan faktor lain seperti uang, tekanan, atau sekadar ikut-ikutan. Akibatnya, pemimpin yang terpilih mungkin justru jauh dari harapan kita. Dalam kondisi ini, golput bukan lagi bentuk protes, melainkan sebuah pengabaian tanggung jawab.
Sebagai mahasiswa, kita dihadapkan pada dilema moral, memilih yang tidak ideal atau tidak memilih sama sekali. Namun, mungkin solusi terbaik adalah berusaha melihat dari sudut pandang realistis. Memilih bukan berarti kita sepenuhnya mendukung seorang calon, melainkan menentukan siapa yang paling sedikit membawa kerugian bagi masyarakat. Dalam bahasa sederhananya choose the lesser evil.
Tentu saja, kita juga perlu terus mendorong sistem politik yang lebih baik. Peran kita tidak berhenti di kotak suara. Kita bisa ikut mengawasi jalannya pemerintahan, menyuarakan kritik, dan mendukung kebijakan yang pro-rakyat. Kalau kita hanya diam dan golput, maka kita kehilangan hak untuk mengeluh ketika kondisi memburuk.
Jadi, saat Paslon tak sesuai ekspektasi, golput mungkin terlihat sebagai solusi sederhana. Tapi dalam kenyataannya, memilih tetap lebih berarti, meskipun sulit. Bagaimanapun juga, perubahan besar sering kali dimulai dari langkah kecil termasuk satu suara di Pilkada. ***