Penulis: Intan Salshabilla, Mahasiswa Program Studi Komunikasi Penyiaran Islam, Universitas Islam Negeri Mataram
BERBAGI News – Demokrasi di Indonesia tengah menghadapi ujian yang tak kalah kompleks dibandingkan dengan tantangan di era-era sebelumnya. Fenomena golput (golongan putih) dalam pilkada belakangan ini bukan sekedar angka statistik yang dapat diabaikan, melainkan potret mendalam tentang krisis kepercayaan yang menggerogoti sistem politik kita. Golput sering dianggap sebagai bentuk protes terhadap sistem politik yang dianggap tidak adil, korupsi, atau tidak mewakili kepentingan rakyat.
Persoalan ini bermula dari kelelahan sistemik masyarakat terhadap proses demokrasi yang terasa hambar dan tidak bermakna. Setiap pilkada yang berlangsung seolah menjadi pengulangan skenario lama: janji-janji politik yang berkilau namun hampa substansi, kandidat yang dihadirkan tanpa mempertimbangkan kapabilitas sesungguhnya, dan mekanisme demokrasi yang terasa sebagai ritual belaka. Beberapa memilih golput karena merasa tidak ada kandidat atau partai politik yang benar-benar layak dipercaya.
Masyarakat, khususnya generasi muda, semakin jenuh dengan pertarungan politik yang lebih mirip sandiwara dibanding ruang transformasi sosial. Mereka melihat para kandidat lebih sibuk bermain politik transaksional, membangun jejaring kekuasaan, ketimbang memikirkan kesejahteraan rakyat. Pilkada yang seharusnya menjadi momentum pergantian kepemimpinan secara bermartabat, justru berubah menjadi arena politik uang, pragmatisme, dan permainan kekuasaan.
Sikap apatis ini tidak terbentuk secara tiba-tiba. Ia adalah akumulasi pengalaman panjang di mana rakyat berkali-kali dikecewakan. Janji-janji perbaikan infrastruktur, peningkatan kualitas pendidikan, pemerataan ekonomi, selalu terdengar indah di panggung kampanye, namun nyaris tak pernah terealisasi secara konkret. Setiap periode kepemimpinan berganti, namun persoalan fundamental tetap sama: kemiskinan, ketimpangan, dan keterbatasan akses.
Kondisi ini menciptakan lingkaran setan dalam praktik demokrasi lokal. Semakin rendah partisipasi, semakin lemah legitimasi pemimpin yang terpilih. Pemimpin yang tidak mendapatkan mandat kuat dari rakyat akan kesulitan membuat terobosan-terobosan signifikan. Akibatnya, masyarakat semakin yakin bahwa partisipasi politik tak ubahnya seperti membuang waktu.
Kompleksitas persoalan ini membutuhkan pendekatan yang komprehensif dan multistreaming. Tidak cukup sekedar menyalahkan masyarakat yang golput, namun perlu dibangun ekosistem demokrasi yang sehat, transparan, dan bermartabat.
Cara mengatasi persoalan dimulai dari sistem pendidikan politik yang berkelanjutan. Perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, dan institusi pendidikan harus aktif menciptakan ruang-ruang literasi demokrasi. Mahasiswa dan generasi muda perlu diedukasi tidak sekadar memahami prosedur demokrasi, namun mampu memaknai demokrasi sebagai instrumen perubahan sosial.
Partai politik perlu melakukan reformasi internal secara radikal. Sistem rekrutmen kandidat harus berbasis kompetensi, bukan sekadar berdasarkan kedekatan atau modal politik. Kandidat pilkada harus memiliki track record yang kredibel, memiliki visi transformatif, dan benar-benar memahami persoalan lokal secara mendalam.
Media massa dan media sosial berperan penting dalam mendorong diskursus politik yang berkualitas. Mereka harus mampu menjadi ruang deliberasi, bukan sekedar panggung pertunjukan politik murahan. Setiap pemberitaan dan analisis politik harus mendorong kesadaran kritis masyarakat.
Pemerintah dan lembaga demokrasi perlu membuka kanal-kanal partisipasi alternatif. Platform digital yang responsif, ruang dialog publik yang inklusif, dan mekanisme pengawasan berbasis teknologi dapat menjadi jembatan mengembalikan kepercayaan masyarakat.
Pada akhirnya, mengatasi fenomena golput adalah tentang mengembalikan martabat demokrasi. Bukan sekadar prosedur, namun substansi. Bukan sekadar pergantian kepemimpinan, namun transformasi sosial yang bermakna. Demokrasi sejati lahir dari kesadaran kolektif untuk terus memperbaiki, bukan sekadar menerima atau menolak.
Inilah saatnya kita tidak sekedar berbicara tentang demokrasi, namun benar-benar menghidupkannya dalam setiap nafas kehidupan berbangsa dan bernegara. ***