Penulis: Abdul Albar, Komunikasi dan Penyiaran Islam, Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi, UIN Mataram
BERBAGI News – Politik transaksional merupakan suatu pembagian kekuasaan politik atau pemberian Dalam bentuk barang, uang, jasa, maupun kebijakan tertentu yang bertujuan untuk mempengaruhi seseorang atau lebih dan untuk mendapatkan keuntungan tertentu berdasarkan kesepatan politik yang dibuat oleh beberapa partai politik atau elite politik.
Di Indonesia Politik transaksional lebih dikenal sebagai istilah yang lebih diidentikan dengan Pemilu. Politik transaksional diartikan sebagai pemberian janji tertentu dalam rangka mempengaruhi pemilih. Namun, dari banyaknya definisi yang ada, Politik transaksional merupakan istilah orang Indonesia untuk menerangkan semua jenis praktik dan perilaku Korupsi dalam pemilu mulai dari korupsi politik, membeli suara (vote buying) hingga kegiatan haram (racketeering).
Praktik politik uang juga menjadi persoalan serius dalam Pilkada. Praktik ini melibatkan pemberian uang, barang, atau imbalan lain kepada pemilih untuk mendapatkan dukungan atau suara. Fenomena ini tidak hanya merusak hakikat demokrasi yang sehat, namun Juga mereduksi nilai pemilu berdasarkan isi program dan visi misi calon utama presiden daerah.
Praktik politik yang berkaitan dengan uang seringkali menimbulkan ketergantungan antara Pemilih dengan calon kepala daerah, serta korupsi dan manipulasi kemauan politik. Hal ini penting tidak hanya untuk memahami dinamika politik lokal, namun juga untuk kualitas demokrasi secara keseluruhan.
Pertama, kajian mendalam mengenai patronase dan praktik politik uang memungkinkan kita mengidentifikasi dan memahami akar permasalahan yang menghambat proses demokrasi yang adil.
Bagi mereka yang mempunyai uang, mereka tidak akan terlampau sulit untuk bisa mempengaruhi masyarakat pemilih dengan beragam cara seperti pemanfaatan media (iklan, siaran radio dan semacamnya) untuk membangun citra diri dan mensosialisasikan visi dan misi mereka.
Pada saat yang sama, bagi mereka yang tidak punya uang, ruang gerak mereka akan dengan sendirinya terbatas sehingga kesempatan untuk memenangi pertarungan semakin susah meskipun penting dicatat di sini bahwa tidak ada garansi orang yang mempunyai uang banyak akan selalu menang dalam pertarungan perebutan kekuasaan.”Politik uang akhirnya menjadi kekuatan yang mampu “mengaborsi” pendidikan demokrasi.
Memahami demokrasi lokal memang tak dapat memisahkan diri dari perbincangan tentang kebijakan desentralisasi. Mengingat kebijakan ini merupakan pintu awal bagi terciptanya demokrasi lokal. Bahkan sejumlah ilmuwan meyakini bahwa tujuan yang sesungguhnya dari desentralisasi tidak lain adalah menumbuhkan demokrasi lokal. Dalam konteks ini salah satu bentuk kebijakan Desentralisasi yang sangat penting bagi kelangsungan demokrasi lokal adalah Devolusi, yakni transfer kekuasaan, Kewenangan, tanggung jawab dan sumberdaya dari negara ke pemerintah lokal atau daerah.
Proses pilkada di Indonesia sejak Reformasi menandakan era baru, ketika masyarakat menjadi aktor penting dalam proses pemilihan. Berbeda dengan masa Orde Baru dimana mayoritas masyarakat mengikuti pemilihan umum di level nasional, karena di level daerah semua kepala daerah ditunjuk oleh Presiden Soeharto, adalah berdasarkan mobilitas pusat, sehingga amat wajar jika tingkat Partisipasinya rata-rata diatas 85 persen. Namun begitu partisipasinya dianggap semu, karena tidak disertai dengan keterwakilan, Transparansi dan akuntabilitas, apatah lagi Responsivitas yang memadai.
Uang dalam politik tidak selalu bermakna negatif karena memang dibutuhkan. Hanya saja akan menjadi masalah ketika penggunaan uang disalahgunakan untuk hal-hal yang tidak dibenarkan sebagaimana diatur dalam undang-undang, misalnya untuk jual beli suara atau untuk menyuap media massa.
Secara umum masyarakat memahami politik uang sebagai praktek pemberian uang atau barang kepada seseorang atau kelompok untuk mendapatkan keuntungan politik. Dalam proses pemilihan, politik uang menjadi cara yang paling banyak dipilih untuk memobilisasi dukungan.
Penyalahgunaan uang dalam politik atau politik uang menjadi penghalang untuk lahirnya demokrasi yang hakiki, karena demokrasi yang dihasilkan hanyalah demokrasi semu atau pseudo-Democracy (Larry Diamond,2003:17).
Betapa Dominannya Politik Uang Sehingga Calon Ideal Sulit Bersaing?
Dominasi Politik Uang tidak hanya merusak Demokrasi, tetapi juga menghambat calon ideal untuk bersaing secara sehat, politik uang telah menjadi kenyataan yang sulit untuk di pisahkan dalam proses pemilu, terutama dalam pilkada di berbagai daerah Indonesia.
Hal ini terjadi karena ambisi kandidat untuk menang, tetapi juga budaya politik yang cenderung transaksional, dimana pemilih sering kali memiliki dukungan politik dengan ketidak seimbangan finansial atau materi.
Masyarakat, partai politik dan lembaga pengawas pemilu harus bersinergi dalam memutus siklus ini, hanya dengan itu pilkada dapat melahirkan pemimpin yang berkualitas dan benar-benar berorientasi pada kepentingan rakyat.
Menurut Sihidi (2019) Politik uang memiliki keterkaitan yang erat dengan tipe pemilih mengambang pragmatis. Pragmatis mengacu pada sifat manusia yang cenderung praktis, Realistis, dan kaku dalam pengambilan keputusan.
Dalam konteks pemilihan umum, sikap Pragmatis tercermin dalam pemilihan preferensi politik berdasarkan pertimbangan Transaksional. Masyarakat yang memiliki tingkat ekonomi rendah lebih rentan terpengaruh oleh Politik uang.
Dalam pandangan masyarakat, politik uang dianggap sebagai bentuk insentif yang lebih nyata dibandingkan dengan program yang dijanjikan oleh politisi selama masa kampanye. (Hermawan, 2018).
Penegakan hukum yang ketat terhadap praktik politik uang adalah langkah kunci dalam Mengatasi permasalahan ini. Solusi ini memerlukan penegakan hukum yang berani dan tegas Terhadap para pelaku politik uang. Dalam rangka memperkuat penegakan hukum, perlu adanya Revisi dan peningkatan dalam undang-undang yang mengatur pemilu dan praktik politik uang.
Sanksi yang lebih berat dan efektif harus disusun dan diterapkan kepada mereka yang terlibat dalam praktik politik uang, termasuk calon politik, partai politik, dan pendukungnya. Sanksi ini harus dirancang sedemikian rupa sehingga menjadi penahan serius bagi para pelaku politik uang, sehingga risiko hukuman yang signifikan akan mengurangi insentif untuk melibatkan diri dalam praktik tersebut.
Selain itu, penegakan hukum yang ketat juga memerlukan kerja sama yang erat antara Lembaga penegak hukum, seperti kepolisian, jaksa, dan pengadilan. Koordinasi yang baik antara berbagai lembaga ini diperlukan untuk memastikan bahwa penyelidikan dilakukan dengan Cermat, kasus-kasus politik uang diadili secara adil, dan sanksi yang tegas diberikan kepada Pelaku yang terbukti bersalah.