Jerat Post Truth Komunikator Politik, Target Pemilih Muda Pasca Kampanye

Oleh: Lujaena Adhaniati

Opini554 Dilihat
Banner IDwebhost

BERBAGI News – Post Truth (Pasca Kebenaran) adalah momentum yang telah melampaui masa kebenaran, yang di penuhi tipuan dan tanpa kredibilitas https://rumahpemilu.org/). 

Sederhananya Post Truth adalah informasi, atau pesan yang di sampaikan oleh komunikator (pembicara) kepada audience (pendengar) dengan tujuan mempersuasi, tanpa bisa mempertanggung jawabkan kebenaran dari pesan yang disampaikannya itu, di masa depan. Lebih sederhananya lagi, Post Truth (Pasca Kebenaran) lebih seperti wacana dan janji-janji palsu, komunikator kepada audience.

Pemahaman tersebut adalah benar, namun faktanya ada konsep pemahaman yang lebih mendalam tentang Post Truth.  Menurut kamus daring Oxford, Post Truth adalah keadaan dimana manusia lebih mempercayai hal-hal yang terkait dengan perasaan dan keyakinan dari pada data dan fakta (https://rumahpemilu.org/).

Dengan pemahaman-pemahaman tersebut, istilah Post Truth dalam dunia politik sudah tidak asing bahkan menjadi tradisi komunikator politik pasca kampanye, untuk meraih suara masyarakat, terutama  pemilih muda. Dengan berbagai framing yang dibuat dan janji-janji yang menarik simpatik masyarakat pasca kampanye.

Tahun 2024 adalah tahun politik, yang dimana Pilpres dan Pilkada di laksanakan. Tentunya, untuk meraih suara rakyat, para paslon mengadakan banyak sekali kampanye, entah itu melalui jejaring media online maupun dengan terjun langsung ke masyarakat.

Sudah bukan rahasia lagi,  jikalau target para paslon Pilpres maupun Pilkada tahun 2024 adalah pemilih muda. Karena berdasarkan data dari KPU (Komisi Pemilihan Umum) yang mendominasi  DPT (Daftar Pemilih Tetap) adalah kalangan pemilih muda (Generasi z dan milenial) sebanyak 56% (106.358.447 jiwa), dari total keseluruhan pemilih dengan jumlah (204.807.222 jiwa).

Bisa dilihat berdasarkan data tersebut, sudah pasti pemilih muda menjadi sasaran empuk komunikator politik pasca kampanye, ditambah dengan banyaknya pemilih pemula dari kalangan gen Z, semakin memperkuat argumen bahwa target Paslon Pilpres maupun Pilkada adalah pemilih muda. Karena pemilih muda dari kalangan pemula lebih rentan di manipulasi, karena kurangnya pemahaman di bidang politik dan lebih banyak menggunakan keyakinan dan perasaan.

Baca Juga:  ‘Uang Politik’ Berkah atau Kutukan Bagi Demokrasi Indonesia

Melihat Kampanye politik tahun 2024 ini, dari visi misi Paslon Pilpres, banyak sekali yang menjanjikan ambisi terkait lapangan pekerjaan bagi anak muda hingga belasan juta. Termasuk penyediaan green jobs (pekerjaan hijau) dan keberpihakan kepada anak muda menuju Indonesia emas.

Adapun terkait visi misi pendidikan, di janjikan Sekolah dan Universitas gratis, serta makan siang gratis untuk anak sekolah.

Di Pilkada NTB pun begitu, salah satu visi misi salah satu Paslon Pilgub adalah pemberian beasiswa dengan menghasilkan 10.000 cendikia, NTB care. Dan janji-janji lainnya terkait kesejahteraan anak muda.

Dengan visi misi tersebut tentu banyak pemilih muda yang terpengaruh, sehingga dengan suka rela memberikan suaranya pada salah satu Paslon. Namun apakah visi-misi yang dijanjikan itu bisa di realisasikan semuanya? Faktanya sedikit sekali kemungkinan janji-janji itu terealisasikan.

Kita bisa melihat dari pemimpin presiden tahun 2024 sekarang. Yang berjanji dalam visi misinya akan memberikan makan siang gratis untuk anak sekolah, mereka memang memberikan makan siang untuk anak sekolah, namun faktanya itu tidak gratis, karena ada anggaran biaya sebesar 10.000 per anak. Kenapa dibilang gratis, padahal ada harganya? Hakikatnya memang tidak ada yang benar-benar gratis. Saat pemerintah memberikan bansos, sembako, BLT (Bantuan Langsung Tunai), makan siang, bahkan bantuan bencana alam, seperti banjir dll, semua itu ada harganya, yaitu diambil dari APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) atau APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) yang dibiayai utang dan pajak.

Sebagian besar visi misi Paslon Pasca Kampanye adalah Post Truth (Pasca Kebenaran) menggunakan berbagai macam upaya janji-janji untuk meraih suara rakyat. Entah itu membangun Citra yang bertolak belakang  dengan aslinya di depan publik sebagaimana penjelasan di dalam (teori Dramaturgi) dalam teori komunikasi politik, untuk menarik simpatik audiens, dan dengan membangun personal branding yang sama dengan masyarakat kebawah, sehingga masyarakat ter persuasi dan hanya melihat berdasarkan keyakinan dan perasaan, sehingga data dan fakta diabaikan tanpa dikulik untuk mengetahui latar belakang para paslon Pilpres dan Pilkada.

Baca Juga:  Kapatuhan Sosial Dalam Penanganan Covid-19

Kenapa para Paslon tidak menyampaikan visi misi sesuai kemampuan saja? Supaya tidak menjadi janji palsu yang ditagih masyarakat di masa depan nantinya, dan menjadi boomerang untuk diri sendiri.

Bahkan pemilih muda yang memilih pun, sudah bersuara bahwa dia akan menagih janji yang di janjikan oleh pemimpin Pasca Kampanye. Namun karena Post Truth sudah menjadi tradisi di dunia politik, sepertinya akan sulit sekali dihilangkan.

Kita sebagai pemilih muda yang harus bijak dalam menentukan, lebih kritis dalam menganalisis dan tidak mudah termakan pencitraan siapapun, mari menjadi anak muda yang tidak malas ber literasi, tidak malas mencari data dan fakta, sehingga istilah Post Truth itu bisa hilang dari dunia politik oleh masyrakat.

Dan semoga saja janji-janji pemimpin kita pasca kampanye tidak hanya janji semata, tetapi siap untuk ditepati dan dipertanggung jawabkan ketika sudah menjabat menjadi pemimpin. Karena melihat banyak sekali pemilih muda yang menaruh harapan di dalam visi misi yang dijanjikan, seperti penyediaan lapangan kerja untuk anak muda, supaya memberantas krisis angka pengangguran di Indonesia.

Dan sekolah maupun Universitas gratis untuk generasi muda, karena pendidikan sepenting itu untuk menciptakan Indonesia emas sebagaimana salah satu visi misi dari pemimpin kita. ***

banner 336x280